Apakah Kamu Anak 'The Scapegoat' dalam Keluarga?

 Seorang Psikolog bernama Dr. Nicole LePera membagikan cuitannya di twitter mengenai topik unhealthy families pada tanggal 11 Januari kemarin. Menariknya cuitan tersebut dilihat sebanyak 3,4 juta kali dengan 23 ribu likes dan 4 ribu retweet (13/01/9:36AM). Dengan jumlah engagement yang cukup banyak, tentu wajib untuk di-kepoin isinya! Seberapa related para pemberi engagement dengan tweet tersebut sehingga cukup banyak dilihat?

Dr. Nicole menjelaskan mengenai istilah "Scapegoat" dalam unhealthy families (keluarga yang tidak sehat). Istilah yang tidak asing jika hanya di terjemahkan antar bahasa, scapegoat = kambing hitam. Namun, bagaimana dengan istilah "Si scapegoat" jika posisinya dalam sebuah kehidupan keluarga? Mari kita bahas!
 


Pengertian

Scapegoat diartikan sebagai menjadikan seorang anak kambing hitam dalam segala masalah keluarga, segala masalah keluarga termasuk masalah random yang tidak berhubungan langsung dengannya. Peran kambing hitam ini bisa bergantian atau hanya menargetkan satu anak saja. Scapegoating atau mengkambinghitamkan termasuk dalam satu bentuk verbal abuse (kekerasan verbal, menyakiti dengan kata-kata).

Alasannya?

 Dalam artikel yang ditulis oleh Peg Streep (2021), ia menjelaskan bahwa dalam sebuah keluarga dengan peran orang tua yang sepenuhnya mengontrol, memiliki sifat agresif, atau narsistik, kambing hitam adalah cara yang efektif untuk mengontrol tidak hanya interaksi dan perilaku anggota keluarga, tetapi juga "narasi keluarga".

Apa maksud narasi keluarga?

Seorang peneliti bernama Gary Gemmill menjelaskan, simply karena adanya kepercayaan : "Jika bukan karena satu individu itu (si kambing hitam) pasti keluarga akan sempurna dan bahagia." narasi seperti itu yang dimaksud.

Zachary R. dan kawan peneliti lain mengemukakan bahwa perilaku mengkambing hitamkan memungkinkan seseorang untuk meminimalisir rasa bersalah atau tanggung jawab atas hasil yang tidak diingkan dan memberikan rasa kontrol (istilah remaja saat ini disebut "damage control") yang baik, karena akan selalu ada si kambing hitam yang disalahkan sehingga orangtua akan selalu punya alasan walau menunjukkan hasil yang buruk. "Tidak masalah mendapat hasil yang buruk toh ada dia yang bisa dikambing hitamkan."

Baca Juga :  Menemukan Bakat Dengan Menjadi K-POP Fans

Lantas seperti apa contoh pengkambing hitaman dalam keluarga yang tidak sehat ini?

Permasalahan :

Mobil Rolls Royce yang berharga milyaran milik Raffi Taylor Ahmad Swift yang diparkir bebas diluar pagar karena garasi mobil sudah tidak muat, ditemukan dengan penuh bekas baret yang bertuliskan kata-kata makian di pagi hari. Sudah dapat dipastikan bahwa itu adalah ulah orang lain atau haters iseng pada malam sebelumnya.

Orang Tua Normal : 

Raffi Swift khawatir karena ada orang yang berani berbuat sejauh ini pada dirinya. Tidak ingin pelaku tersebut sampai melampaui batas dan melukai keluarganya kedepan, maka ia melaporkan kejadian ini pada satpam dan polisi. Raffi Swift memastikan pelaku tertangkap secepat mungkin dan diadili atas kelakuannya.

Orang Tua Tidak Normal Out of The Box :

Raffi Swift masuk ke dalam rumah, menemukan Rafatar Kardashi tengah menyantap sarapannya dalam damai, Raffi Swift menggebrak meja dan memarahinya dengan alasan:

1. Rafatar Kardashi adalah anak yang terakhir menggunakan mobil tersebut.

2. Rafatar Kardashi membiarkan mobil Rolls Royce yang terpakir diluar, tidak mempertimbangkan seharusnya mobil lain yang lebih murah yang diluar.

3. Rafatar Kardashi tidak menyalakan lampu jalan di depan rumah (walau memang biasanya mati), sehingga kamera CCTV tidak dapat menangkap wajah pelaku dengan jelas (walau Raffi Swift belum mencoba untuk mengecek CCTV-nya), 4,5,6,7,8.... dan alasan-alasan lain untuk meluapkan amarah Raffi Swift.

TARA!!!!! Seperti itulah narasi kambing hitam keluarga terbentuk. Rafatar Kardashi lah yang harus disalahkan atas perusakan mobil yang sebenarnya dilakukan oleh orang lain. Bukannya terfokus pada pelaku utama dan penyebab langsung masalah, Raffi Swift justru menggempur Rafatar Kardashi dengan kata-kata kasar. 

Same goes with kambing hitam kasus perkosaan yang masih sering menyalahkan perilaku dan pakaian korban, daripada terfokus ke pelaku yang JELAS-JELAS salah, tidak bisa menahan dirinya untuk tidak melakukan perkosaan. Well, banyak orang tidak memerkosa walau dia berada di dekat pantai telanjang Black Beach atau Lady Bay Beach, sebaliknya pada tahun 2022 di banyak pondok pesantren yang notabenya tempat wajib berpakaian sopan dan tertutup terjadi banyak kasus perkosaan. Kesimpulannya? Ketidaknormalan ada pada pelaku bukan korban. Pelaku lah yang memilih memerkosa. Jika harus dipilih seseorang untuk dikritik atau disalahkan, ya PELAKU. Set your priorities straight!

Oke back to the main topic...

Apa kamu familier dengan contoh kasus tersebut? Atau justru kamu lah si kambing hitam dalam keluarga? Lantas bagaimana seorang anak akhirnya terpilih menjadi "si kambing hitam"?

Ciri Kamu adalah The Scapegoat

Sejauh ini diketahui belum ada penelitian mengenai hal ini, namun berdasarkan ratusan cerita yang diterima dari projek wawancara untuk buku baru Peg Streep mengenai verbal abuse dan Daughter Detox: Recovering from an Unloving Mother and Reclaiming Your Life didapatkan setidaknya 4 ciri:
 
 1. Si Penentang atau Pemberontak (The Resister or Rebel)
Kekerasan verbal adalah tentang kontrol dan ketidakseimbangan kekuatan (relasi kuasa). Seorang anak yang tidak menuruti perkataan dari orangtuanya cenderung akan dipinggirkan baik oleh orangtua atau saudaranya yang lebih penurut. Anak yang di cap pemberontak dan dipinggirkan adalah target empuk pengkambinghitaman.

2. Si Sensitif (The Sensitive One)
Pengkambinghitaman dan pembullyan sama-sama memberi sensasi kekuasaan pada pelaku, akan lebih memuaskan jika sang korban memberikan respon dan bereaksi. Anak yang paling sensitif adalah target pengkambinghitaman, selain itu, orang tua jadi memiliki alasan pengkambinghitaman demi narasi 'menguatkan mental sang anak'.
 
3. Si Asing (The Outlier)
 Seorang anak yang "berbeda" (bisa jadi kepribadian atau perilaku) dari orang tua dan anak-anak lain sehingga keterampilan mengasuh apa pun yang dilakukan orangtua hanya membuat kewalahan, akan dianggap sebagai orang asing dan aneh sehingga berpotensi menjadi anak yang dijadikan kambing hitam.
 
4. Si Pengingat (The Reminder)
Maksud si pengingat disini adalah anak yang mengingatkan orangtua dengan sosok yang mirip dengan orang yang tidak disukai atau dibenci oleh mereka. Anak-anak hasil perceraian yang mirip dengan sosok mantan pasangan mereka sering menjadi kambing hitam. Bahkan sering diungkap melalui kalimat, "Kamu seperti ayahmu yang tidak bertanggung jawab dan pemalas!" dan sejenisnya.

Adakah satu diantara 4 ciri tersebut yang related dengan dirimu? Lalu adakah cara menyembuhkan efek verbal abuse scapegoating? Dr. Nicole LePera membagikan tulisannya, bagaimana cara sembuh dari pengkambinghitaman:

  • Sadari bahwa kamu bukan anak yang bermasalah atau buruk, keluargamu lah yang bermasalah dan menjadikanmu kambinghitam untuk kabur dari masalah mereka.
  • Belajarlah untuk menemukan jati diri. Pada keluarga yang disfungsional (tidak berfungsi sebagaimana mestinya keluarga), sulit untuk mengembangkan jati diri. Jadi mulailah untuk mempelajari nilai-nilai yang ada pada diri dan tentukan jati dirimu.
  • Bertanggung jawablah atas apa yang dapat diubah. Yang dapat diubah disini adalah reaksimu terhadap perilaku pengkambinghitaman. Ya, tidak mudah meminta dan membuat keluarga untuk berubah, jadi kitalah yang harus berubah, fokuslah pada diri sendiri untuk sembuh.
  • Jadilah orang yang diinginkan oleh diri anda yang dulu. Mulailah berbicara kepada diri sendiri dengan kasih sayang dan kebaikan, dan maafkan diri kamu pada saat tidak melakukannya dahulu.
  • Set boundaries atau tetapkanlah batasan. Dalam keluarga yang disfungsional, cenderung tidak memiliki batasan antara satu orang dengan yang lain. Menetapkan batasan adalah kunci dalam penyembuhan karena memungkinkan kita menghormati batasan kita sendiri dan untuk mengajari orang lain bagaimana kita akan membiarkan diri kita diperlakukan.



Sumber :

Streep, Peg. 2021. How Toxic Families Choose a Child to Scapegoat. Psychology Today.

LaPera, Nicole (@Theholisticpsyc). 2022. https://twitter.com/Theholisticpsyc/status/1613208556819615744

Post a Comment

0 Comments